MENGHILANGKAN BUDAYA MENCONTEK DI KALANGAN PELAJAR
Menyontek memiliki arti yang beraneka macam, akan tetapi biasanya dihubungkan dengan kehidupan sekolah, khususnya bila ada ulangan dan ujian. Biasanya usaha menyontek dimulai pada waktu ulangan dan ujian akan berakhir, tapi tidak jarang usaha tersebut telah dimulai sejak ujian dimulai.
Walaupun kata menyontek telah dikenal, sejak lama namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tersebut tidak dapat ditemukan secara langsung, kata menyontek baru ditemukan pada kata jiplak menjiplak yaitu mencontoh atau meniru ( tulisan pekerjaan orang lain ). Dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia istilah menyontek memiliki pengertian yang hampir sama yaitu “ Tiru hasil pekerjaan orang lain”.
Ada berbagai macam definisi tentang mencontek,yaitu:
1. Kamus
Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwadarminta adalah mencontoh,
meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya.
2. Dalam
artikel yang ditulis oleh Alhadza (2004) kata menyontek sama dengan
cheating. Beliau mengutif pendapat Bower (1964) yang mengatakan cheating
adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan
yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau
menghindari kegagalan akademis. Sedang menurut Deighton (1971), cheating
adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan
dengan cara-cara yang tidak fair (tidak jujur).
3. Menurut
Suparno (2000). Segala sistem dan taktik penyontekan sudah dikenal
siswa. Sistem suap agar mendapat nilai baik, juga membayar guru agar
membocorkan soal ulangan, sudah menjadi praktik biasa dalam dunia
pendidikan di Indonesia.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa mencontek adalah suatu
perbuatan atau cara-cara yang tidak jujur, curang, dan menghalalkan
segala cara untuk mencapai nilai yang terbaik dalam ulangan atau ujian
pada setiap mata pelajaran.
2.3 Kategori Mencontek
Pada
dasarnya mencontek dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu
mencontek dengan usaha sendiri dengan membuka buku catatan atau membuar
berbagai catatan kecil yang ditulis di tangan atau di tempat lain yang
dianggp aman. Bagian yang kedua yaitu dengan meminta bantuan teman.
Misalnya dengan meniru jawaban dari teman atau dengan berkompromi
menggunakan berbagai macam kode tertentu.
Dalam
makalah yang ditulis Alhadza (2004) yang termasuk dalam kategori
menyontek antara lain adalah meniru pekerjaan teman, bertanya langsung
pada teman ketika sedang mengerjakan tes/ujian, membawa catatan pada
kertas, pada anggota badan atau pada pakaian masuk ke ruang ujian,
menerima dropping jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, arisan
(saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman, menyuruh atau meminta
bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas atau tugas
penulisan paper dan take home test.
2.4 Tinjauan Psikologi Tentang mencontek
Menurut,
Dien F. Iqbal, dosen Fakultas Psikologi UNPAD, seperti yang dikutip
Rakasiwi (2007) orang menyontek disebabkan faktor dari dalam dan di luar
dirinya. Dalam ilmu psikologi, ada yang disebut konsep diri dan harga
diri. Konsep diri merupakan gambaran apa yang orang-orang bayangkan,
nilai dan rasakan tentang dirinya sendiri. Misalnya, anggapan bahwa,
"Saya adalah orang pintar". Anggapan itu lalu akan memunculkan kompenen
afektif yang disebut harga diri. Namun, anggapan seperti itu bisa
runtuh, terutama saat berhadapan dengan lingkungan di luar pribadinya.
Di mana sebagai kelompok, maka harus sepenanggungan dan senasib. Senang
bersama, duka mesti dibagi.
Menurut Bandura (dalam Vegawati, Oki dan Noviani, 2004), fungsi psikologis merupakan hubungan timbal balik yang interdependen dan berlangsung terus menerus antara faktor individu, tingkah laku, dan lingkungan. Dalam hal ini, faktor penentu tingkah laku internal (a.l., keyakinan dan harapan), serta faktor penentu eksternal (a.l., "hadiah" dan "hukuman") merupakan bagian dari sistem pengaruh yang saling berinteraksi. Proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat proses, yaitu atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi.
Menurut Vegawati, Oki dan Noviani, (2004), Pada saat dorongan tingkah laku mencontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia mencontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku mencontek itu menjadi sebuah informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun pengalaman mengenai perilaku mencontek, baik secara maya (imaginary) maupun nyata (visual).
Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik, yaitu memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya mengenai perilaku mencontek untuk memprediksi sejauh mana kemampuan maupun kecakapannya dalam melakukan tingkah laku mencontek tersebut. Dalam hal ini, ia juga mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika perilaku tersebut muncul. Dalam proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di mana kognisi berperan dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan konsekuensi apa yang akan diterimanya bila ia mencontek.
Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure, atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka, perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita dengar iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.
Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan adalah nilai-nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa, kepuasan diri terhadap "prestasi" akademik yang dimilikinya, dan juga karena sistem pengawasan ujian, kondusif atau tidak untuk mencontek. Masalah kepuasan "prestasi" akademik juga akan menjadi sebuah konsekuensi yang mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk mencontek. Bila ia mencontek, maka ia menjadi tidak puas dengan hasil yang diperolehnya.
Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan, sebenarnya nilai hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan sejatinya adalah sebuah proses manusia mencari pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil Anwar, mengungkapkan, bahwa menyontek telanjur dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal, bahayanya sangat luar biasa. Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk masa depan pendidikan Indonesia. Ibarat jarum kecil di bagian karburator motor. Sekali saja jarum itu rusak, mesin motor pun mati.
Menurut Bandura (dalam Vegawati, Oki dan Noviani, 2004), fungsi psikologis merupakan hubungan timbal balik yang interdependen dan berlangsung terus menerus antara faktor individu, tingkah laku, dan lingkungan. Dalam hal ini, faktor penentu tingkah laku internal (a.l., keyakinan dan harapan), serta faktor penentu eksternal (a.l., "hadiah" dan "hukuman") merupakan bagian dari sistem pengaruh yang saling berinteraksi. Proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat proses, yaitu atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi.
Menurut Vegawati, Oki dan Noviani, (2004), Pada saat dorongan tingkah laku mencontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia mencontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku mencontek itu menjadi sebuah informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun pengalaman mengenai perilaku mencontek, baik secara maya (imaginary) maupun nyata (visual).
Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik, yaitu memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya mengenai perilaku mencontek untuk memprediksi sejauh mana kemampuan maupun kecakapannya dalam melakukan tingkah laku mencontek tersebut. Dalam hal ini, ia juga mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika perilaku tersebut muncul. Dalam proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di mana kognisi berperan dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan konsekuensi apa yang akan diterimanya bila ia mencontek.
Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure, atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka, perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita dengar iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.
Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan adalah nilai-nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa, kepuasan diri terhadap "prestasi" akademik yang dimilikinya, dan juga karena sistem pengawasan ujian, kondusif atau tidak untuk mencontek. Masalah kepuasan "prestasi" akademik juga akan menjadi sebuah konsekuensi yang mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk mencontek. Bila ia mencontek, maka ia menjadi tidak puas dengan hasil yang diperolehnya.
Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan, sebenarnya nilai hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan sejatinya adalah sebuah proses manusia mencari pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil Anwar, mengungkapkan, bahwa menyontek telanjur dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal, bahayanya sangat luar biasa. Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk masa depan pendidikan Indonesia. Ibarat jarum kecil di bagian karburator motor. Sekali saja jarum itu rusak, mesin motor pun mati.
2.5 Faktor-faktor yang Menyebabkan Siswa Mencontek Ketika Ujian.
a) Tekanan
yang terlalu besar yang diberikan kepada “hasil studi” berupa angka dan
nilai yang diperoleh siswa dalam test formatif atau sumatif.
b) Pendidikan moral baik di rumah maupun di sekolah kurang diterapkan dalam kehidupan siswa.
c) Sikap malas yang terukir dalam diri siswa sehingga ketinggalan dalam menguasai mata pelajaran dan kurang bertanggung jawab.
d) Anak
remaja lebih sering menyontek dari pada anak SD, karena masa remaja
bagi mereka penting sekali memiliki banyak teman dan populer di kalangan
teman- teman sekelasnya.
e) Kurang mengerti arti dari pendidikan.
f) Karena terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan cheating meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
g) Karena jawaban dari pertanyaan tersebut sama dengan yang ada di buku sehingga bisa langsung di salin dari buku.
h) Merasa dosen atau guru kurang adil dalam memberikan nilai.
i) Adanya kesempatan atau pengawasan tidak ketat.
j) Takut gagal karena yang bersankutan merasa belum siap menghadapi ujian dan dia tidak ingin mengulang.
k) Ingin mendapat nilai tinggi
l) Tidak percaya diri sehingga tidak yakin pada jawabanya sendiri.
m) Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga apa yang dipelajari sudah hilang sehingga terpaksa membuka catatan.
n) Merasa
sudah sulit menghafal atau mengingat karena faktor usia, sementara soal
yang dibuat penguji sangat menekankan kepada kemampuan mengingat.
o) Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal.
p) Menganggap sistem penilaian tidak objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada dosen/guru lebih efektif daripada belajar serius.
q) Penugasan
guru/dosen yang tidak rasional yang mengakibatkan siswa/mahasiswa
terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara.
r) Yakin
bahwa dosen/guru tidak akan memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan
pengalaman sebelumnya sehingga bermaksud membalas dengan mengelabui
dosen/guru yang bersangkutan.
2.6 Dampak dari Perbuatan Mencontek
Dampak
yang timbul dari praktek menyontek yang secara terus menerus dilakukan
akan mengakibatkan ketidakjujuran Jika tidak, niscaya akan muncul
malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur,
yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor. (Poedjinoegroho,
2006).
Selain
itu kebiasaan mencontek juga akan mengakibatkan seseorang iti tdak mau
berusaha sendiri dan selalu mengandalkan orang lain. Sehingga seseorang
tersebut tidak mau mempergunakan otaknya sendiri dan tentu saja akan
muncul generasi-generasi yang bodoh dan tidak jujur. Bahkan yang lebih
parah lagi pendidikan tidak akan maju.
2.7 Cara Mengatasi Kebisaan Mencontek
Kita
sebagai calon pendidik tentunya memiliki tugas yang berat dalam upaya
mengatasi kebiasaan mencontek di kalngan pelajar. Salah satu upaya yang
bisa kita lakukan sebagai calon guru ialah memberikan motifasi pada
siswa yang mencontek pada saat ulangan agar siswa dapat bersikap jujur
dalam menghadapi ulangan dan menanamkan rasa percaya diri pada setiap
siswa.
Beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam mengadapi persoalan setiap siswa, yaitu:
1. Siswa
bukanlah miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri sehingga
metode belajar mengajar tidak boleh disamakan denagan orang dewasa.
2. Siswa
mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola
perkembangan serta tempo dan iramanya. Implimintasi terhadap pendidikan
adalah bagaimana menyesuaikan proses pendidiakn itu dengan pola dan
tempo, serta irama dan perkembangan siswa itu sendiri.
3. Siswa memiliki kebutuhan dan menuntut untuk memenuhi kebutuhan itu semaksimal mungkin.
4. Siswa
memiliki perbedaan antara individu–individu dengan individu yang lain,
baik perbedaan yang disebabkan faktor endogen (fitrah) maupun eksogen
(lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat,
minat dan lingkungan yang mempengaruhinya.
5. Siswa dipandang sebagai kesatuan sistem manusia (cipta, rasa, karsa).
6. Siswa merupakan objek pendidikan yang aktif dan kreatif serta produktif.
Tindakan
guru pada umumnya dalam pelaksanaan ujian dan ulangan dengan memberikan
penguatan dan peneguhan terhadap sikap dan perilaku mereka yang
positif, dimana mereka berusaha sendiri menyelesaikan tugasnya dengan
baik dan tertib. Namun bila tidak ada perilaku positif yang dapat
diberikan penguatan dan peneguhan maka dibutuhakan pendekatan lain
yaitu:
a) Cuing
Promping, yaitu siasat memberikan tanda, guru menyajikan suatu
perangsang yang berfungsi sebagai pemberitahuan bahwa siswa diharapkan
berbuat sesuatu yang sebenarnya dapat mereka lakukan, tetapi belum
dilakukan.
b) Model, yaitu guru memberikan model yang ditiru oleh siswanya.
c) Shaping,
yaitu membuat tingkah laku secara berlahan–lahan, yaitu setiap tingkah
laku siswa, seperti mengatur buku, menyapa guru atau teman, cara ini
memerlukan kesabaran yang sangat dari guru.
Adapun
tindakan kuratif guru, berlaku bagi siswa yang sudah terbiasa dengan
contek mencontek, dengan memberikan peringatan . bentuk kongkrit dari
peringatan dapat bermacam- macam, yaitu :
a) Teguran Verbal, yaitu mendekati siswa tertentu dengan berbicara suara kecil sehingga tidak terdengar oleh teman sekelas
b) Mengambil
suatu hal yang digemari atau disukai siswa, seperti mengikuti kegiatan
tertentu atau menyerahkan benda yang dipegangnya.
c) Mengisolasi
siswa dari teman – temannya untuk waktu tidak terlalu lama, seperti
memindahkannya diruang kosong atau tempat yang jarang dilalui orang.
Jadi, dari
bentuk tindakan guru yang telah dipaparkan, guru dapat membantu
siswanya untuk meninggalkan kebiasaan menyontek dalam ujian atau ulangan
dengan berusaha melakukan berbagai hal sebagai berikut:
a) Membentuk hubungan saling menghargai antara guru –siswa, serta menolong murid bertindak jujur dan tanggung jawab.
b) Membuat dan mendukung peraturan sehubungan dengan menyontek, karena siswa memahami peraturan dari tindakan guru.
c) Mengembangkan kebiasaan dan keterampilan belajar yang baik dan menolong siswa merencanakan, melaksanakan cara belajar siswa.
d) Tidak
membiarkan siswa menyontek jika hal tersebut terjadi dalam kelas dengan
teguran atau cara lain yang pantas dengan perbuatannya, sebagai
penerapan disiplin.
e) Bertanggung
jawab merefleksikan “kebenaran dan kejujuran”, yaitu guru menjadikan
diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran dan
kejujuran.
f) Menggunakan test subjektif sebagai dasar proses ulangan dan ujian.
g) Menekankan
“Belajar” lebih sekedar mendapat nilai, yaitu membantu siswa memahami
arti belajar sebagai suatu tujuan mereka sekolah, dan nilai akan berarti
bila murni dengan kemampuan siswa sendiri.
Itu faktor yang menyebabkan menyontek banyak yg sama, cuman diulang2 dgn bahasa yg brbeda biar kelihatan banyak.. Mohon yg maknanya sama tdk usah ditulis lagi
BalasHapus